Sabtu, 24 November 2007

Save The Hard Rock Civilitation

Cewek kurus cantiek dengan kaca mata hitam baru naik dari kolam renang. Warna kulitnya menjadi kecoklatan karena terbakar.
Tampak ada bekas bercak kulit yang masih putih mulus, bercak itu adalah bercak ipod. Namun anehnya iklan yang tampak mewah itu ternyata bukan dari produsen ipod, melainkan dari iklan dari sebuah perusahaan peradaban baru Hard Rock.
Music, Pleasure, Young Spirit, and Freedom.
Hard Rock sebagai ikon beradaban memang mau tidak mau harus diakui keberadaanya sebagai barometer peradaban baru, peradaban musik. Musik menjelma menjadi bagian penting dari perkembangan umat manusia. Penyanyi menjadi nabi baru, semacam juru selamat bagi semua. Sedangkan bernyanyi menjadi aktivitas suci yang tidak kalah religi dibandingkan dengan ibadah.
Siapa yang tidak kenal Madonna cewek populer "biseks" yang wajahnya terpampang di pintu toilet perempuan. Atau gambar the gayman "George Michael" di pintu cowoknya. Dengan tegas dia pernah bilang "When eighties pop sensation Wham! broke up, critics assumed another bubblegum bubble had burst, never to be heard from again. How wrong they were."
Searching sebentar dan hasilnya, "The first Hard Rock Cafe (HRC) opened its doors to the public on June 14, 1971, in London, England. Founded by Isaac Tigrett and Peter Morton, two enterprising and music-loving Americans, HRC was an instant classic, attracting droves of customers with its first-rate, but moderately priced casual American fare, warm service and ever-present rock 'n' roll music and sensibility.
Throughout its history, Hard Rock has been governed by a guiding service philosophy - "Love All - Serve All." Created as a place where all have always been welcome, regardless of age, sex or class; this unconditional welcoming hand, first extended by Messrs. Tigrett and Morton, continues today as integral to Hard Rock's present and future as it was to its beginnings.
Today, Hard Rock Cafe International, with Hard Rock Cafe at its core, is an entertainment and leisure company that continues to successfully expand the Hard Rock Brand through myriad music-related ventures."
Gila ternyata HR didirikan dengan begitu filosofisnya. Bahkan dalam banner yang terpampang di gambar salah satu Cafe dengan jelas tertera "Save The Planet".
And the ending, bahwa setelah mengetahui secara singkat sejarah HD tanpa ada pandangan sentimentil terhadap iklan di atas adalah.
Kenapa harus cewek kurus?
Kenapa Hard Rock identik dengan kaum junkie?
Apakah yang gemuk bukan Hard Rockers?
So gimana dengan filosofi "Love All - Serve All"
This is a discrimination.
Let kick out a fat discrimination!

MogZ (with the big z)
Try to keep a big d*ck and + spirit

Senin, 12 November 2007

Merubah Konsep Musik Anak.

Oleh: Bintang “B#7R” Riyadi

Dari berbagai sumber

Terasa begitu menyedihkan ketika mendengarkan kemenakan saya yang terkecil bernyanyi. Bukan karena suaranya yang membisingkan telinga, tetapi lagu-lagu yang didendangkannya. Saya tidak mendengar lagu seperti burung kakak tua, balonku ada lima, twinkle-twinkle little star atau sebagainya yang memang sengaja diciptakan untuk anak-anak. Malahan yang terdengar adalah “jangan benci bilang cinta” lagu dari band berkaca mata hitam, bersenandung “ada apa denganmu..”, atau bergoyang pinggul sambil berteriak “lebih baik kita berteman saja, teman tapi mesra”. Aarrgh..dimanakah para pencipta lagu dan penyanyi anak-anak? Jelas sekali penggalan lagu tadi sangatlah tidak cocok untuk dinyanyikan oleh anak-anak. Mungkin permasalahnnya adalah ketika berkurangnya program yang mengkhususkan untuk menayangkan lagu-lagu anak. Atau memang si anak yang tidak mau bernyanyi lagu anak-anak, melainkan ingin menjadi bintang-bintang idola yang pemenangnya ditentukan dengan pooling sms.

Memang musik anak tidak begitu memperhatikan kualitas suara. Hanya dengan suara yang sekedarnya asalkan nada musik yang ceria dan berlirik yang mudah dicerna oleh anak-anak. Tetapi saya tidak mau membahas hal diatas. Saya akan lebih menyorot kesosok seorang gadis cilik yang sekarang mulai beranjak dewasa. Dimana ia telah merubah konsep musik anak di Indonesia dan menjadi fenomena di dunia musik. Sherina adalah fenomena penyanyi cilik tersebut. Album perdananya Andai Aku Besar Nanti di tahun 1999 telah membuat Sherina berada di posisi yang berbeda dengan penyanyi cilik lainnya.

Sherina-lah sebagai penyanyi cilik yang pertama kali membuat album dengan format band yang besar, dengan lagu yang memperkenalkan instrument musik seperti piano, drum, saksofon, biola dan alat musik orchestra lainnya. Bernyanyi dengan diiringi Elfa’s Big Band membuat penyanyi cilik ini bernyanyi dengan beragam irama; waltz, swing, sampai nuansa jazz bisa kita dengarkan. Meskipun irama lagu berbeda tetapi lirik yang dinyanyikan tetap bernuansa anak-anak.

Sampai sekarang sudah 3 album yang dikeluarkan oleh Sinna Sherina Munaf. Andai Aku Besar Nanti, Petualangan Sherina dan My Life yang hampir keseluruhannya laris di pasaran. Karena penikmat suara liris dengan pianissimo yang menonjol ini bukan hanya kalangan anak-anak saja, melainkan sampai kalangan dewasa dan orang tua.

Di tiga album tersebut terdapat lirik-lirik yang mendidik dan pesan-pesan yang baik untuk anak-anak. Misalnya saja lagu yang berjudul Balon Udara di album perdananya. Dilagu itu kita diajak berkeliling dunia dan mengenal tujuh keajaiban dunia beserta sejarahnya. Dan diakhir lagu terdapat pesan dimana kita harus tetap mencintai budaya kita sendiri. Kemudian lagu Andai Aku Besar Nanti dialbum yang sama. Pendengar dihimbau untuk mencintai kedua orang tua dan membalas jasanya disaat kita besar nanti. Sama dengan lagu-lagu yang lain seperti Pelangiku, kembali ke sekolah yang bercerita betapa indahnya masa-masa disekolah. Dan album pertamanya ini yang membondong tiga penghargaan di Anugerah Musik Indonesia 1999.

Di album keduanya Petualangan Sherina pun tetap sama, lagu-lagunya juga mempunyai pesan dan memberi pengetahuan. Dan album kedua ini adalah original sound track dari film yang berjudul sama “Petualangan Sherina” dan dibintangi oleh Sherina sendiri. Akting gadis kelahiran 11 juni 1990 ini bisa dibilang cukup baik. Terlihat dia bermain begitu apik memerankan gadis cilik yang baik hati, lincah dan gemar bertualang. Bersama lawan mainnya Derby Romeo membuat para pecinta film Indonesia bebrbondong-bondong utnuk menontonnya. Dan terlihat antrian yang panjang dibioskop-bioskop saat itu. Dan menurut pandangan subjektif saya, film keluarga ini lah yang telah membangkitkan dunia perfilman di Indonesia.

Dengan kemampuan bernyanyi yang bagus dan tingkat popularitas yang tinggi, sudah pasti banyak tawaran untuk pentas. Tapi sepenglihatan saya gadis ini jarang muncul di layar kaca. Terakhir yang saya tonton adalah pementasannya bersama Addie MS dan Twillite Orchestra di Senayan beberapa bulan yang lalu. Atau paling tidak dia akan tampil di layar kaca dalam memperingati hari-hari besar nasional.

Meskipun tingkat popularitasnya tinggi, tidak membuat gadis yang juga hobi melukis ini tidak tinggi hati, malahan sebaliknya. Kegiatan sosialnya yang paling saya ingat adalah mengumpulkan kaca mata bekas. Dimana kaca mata tersebut akan disumbangkan kepada masyarakat yang daya penglihatannya terganggu dan tidak memiliki biaya untuk periksa atau membeli kaca mata. Dan salah satu yang lainnya adalah ikut andil dalam konser amal untuk membantu korban bom Bali di tahun 2002 yang diselenggarakan di Garuda Wisnu Kencana, Bali.

Sejauh ini Sherina sudah banyak berduet dengan penyanyi senior. Salah satunya Bob Tutupoly. Mereka menyanyikan lagu Smile cipataan C Chaplin. Dan yang lainnya antara lain Titik Puspa, Vina Panduwinata, Uci Nurul yang juga berduet di salah satu albumnya. Ketertarikannya di dunia suara dimulai sejak TK. Lantas, Sherina belajar olah suara di Bina Vokalia dan dilanjutkan kursus vokal di Bina Seni Suara (BISS)

Tapi beberapa tahun ini namanya tak lagi terdengar. Entah apa yang sedang dilakukan dan tak tahu apa yang sedang dipersiapkan. Saya hanya berharap terus menggeluti di dunia tarik suara. Siapa tahu dia nanti akan menjadi seperti Lea Salonga atau Charlotte Cruch. Yang pasti Sherina bersama Elfa seciora telah meredefinisi musik untuk generasi anak Indonesia yang kini tengah dilanda kesusahan.